Cintaku Terpaut Dalam Taat
“Mengapa
gak ada yang meminangku selama ini?” hati Nina berontak dengan perasaan yang sebenarnya ia sendiri tidak mau terjajah olehnya,”Ukh Alia saja sudah dua kali dipinang walaupun yang pertama Allah bekehendak lain.” Hatinya seakan tidak terima. Sambil terus menahan rasa yang semakin menggejolak, ia pandang wajahnya yang terlihat di kaca. Ia sedang bersiap untuk berangkat kerja, ia bekerja di sebuah majalah islam, sebagai pemegang rubrik remaja. Sedangkan saudarinya, Alia, bekerja di sebuah perusahaan asuransi. Ya, setelah jadi
unemployment selama hampir satu tahun, akhirnya dengan berbekal kesabaran keduanya mampu mendayakan kemampuan untuk mencari nafkah. Dan, hari ini jugalah ia akan berkunjung ke rumah sahabatnya untuk menyaksikan pinangan Ustadz Ilyas untuk Alia, ba’da dzuhur, ia akan menyempatkan ke sana.
“Sebenarnya ana
gak jelek-jelek
amat,” hatinya sinis, masam sekali bahasa yang digunakan. ”
Astaghfirullahal adzim…,” Nina tersadar dan merasa apa yang ia rasa salah,”Ya Allah, apa yang ana katakan tadi?” Nina tidak sadar bahwa nafsu telah menggelayutinya tadi. Namun, akhirnya ia mampu menguasai dirinya. Ia malu dengan dirinya sendiri, malu kepada Allah, kepada Alia tentunya walau sebenarnya Alia tidak tahu dan tidak sadar dengan perasaannya. Nina iri, sudah hampir enam tahun lulus dari UGM, tak satupun khitbah yang mampir kepadanya, tak ada sedikitpun kontak langsung ataupun tersirat untuk menjadikan ia sebagai seorang bidadari. Ia sedih, jujur dalam hatinya yang paling dalam ada bersit kuat untuk dipinang. Harapnya begitu dalam sampai-sampai ia tak sanggup menahan tangisnya.
Sejenak ia teringat hari ketika Alia diminta
sowan ke
ndalem-nya Bu Nyai ‘Arifatus Sa’dah. Sepulang dari rumah beliau, terlihat wajah ‘tanya’ Alia yang sempat lekat sekarang terlihat cerah, senyum menyimpul. Ada sesuatu yang Alia sampaikan saat itu, kabar gembira untuk Alia, begitupun untuk Nina dan juga api penyulut iri yang ia rasakan sekarang. Alia bercerita dan meminta pendapat tentang apa yang Alia bicarakan di rumah bu nyai. Matanya berbinar bahagia saat kalimat demi kalimat terlantun. Nina bisa merasakan kalimat penuh kebahagiaan telontar dari saudarinya. Nina bahagia, juga iri.
“Ukh Nina,” nada tanya dari Alia terlontar saat itu,”Ana ingin minta pendapat anti tentang hal yang baru saja ana bicarakan dengan bu nyai tadi.”
“Pendapat apa ukh?” Nina semakin penasaran, pasalnya dari awal ia sudah menyimpan tanyanya,”Insya Allah kalau ana bisa bantu, ana bantu.” Segurat senyum mampir di wajah Nina.
“Begini ukh,” Alia mulai menjelaskan, sedikit ragu Alia untuk mengungkapkan,”Tadi bu nyai tanya apa ana sudah nikah atau belum.” Alia berhenti sejenak dan jelas pula terlihat Nina mengerutkan keningnya. “Dan yang mengejutkan ukh,” Alia terlihat gugup tapi perasaan senang berhasil menetralisasi gugupnya,”Bu nyai meminta ana untuk menjadi pendamping Ustadz Ilyas, putra beliau. Dan jujur ana,
gak menyangka hal ini dan di sisi lain ana bahagia. Anti tahu kan Ustadz ilyas bagaimana, dia menarik akhlaq dan rupawan. Ana sudah mendambakan suami sejak lama dan sejak kejadian tiga tahun lalu, berat rasanya hati ini menerima pinangan dari siapapun, hati ini belum siap untuk merasa kehilangan lagi. Ana takut hal itu terjadi lagi”
“
Subhanallah…,” tasbih terucap dari Nina, ini adalah berita yang menggembirakan,”Anti sungguh beruntung, berkat kesabaran anti, Allah memberikan pengganti yang insya Allah tidak kalah baik, atau mungkin lebih baik.
Wa syukrillah ukhty, semoga ini awal dari kebahagiaan yang hakiki di balik pedih ujian yang anti hadapi.” Keduanya berpelukan, erat terlihat. “Ini jawaban atas doa-doa serta ketawadu’an anti,” lirih berbisik di telinga Alia.
“
Alhamdulillah…,” tangis pecah saat kalimat tahmid terlantun, Alia tak mampu menahan air matanya, ini membahagiakan serta mengharukan,”Terima kasih ukhty, terima kasih sudah menguatkan hati ana selama ini, anti sudah meneguhkan hati ana yang sempat rapuh saat musibah itu menyelimuti hati ana. Syukran, syukran ukhty….” Pelukan semakin erat tergambar, keduanya larut dalam suasana haru penuh kesyukuran.
Nina tertunduk saat ini, ingatan itu sungguh membahagiakan serta menyulut iri yang tak bertuan. Nina terus beristighfar, ini adalah perasaan yang salah. Nina pun menangis, ia tak mampu menahan tangisnya. Saat ini ia sudah berumur 25 tahun, tetapi belum ada satupun pinangan yang menyapa. Ah, ini hanya sifat kemanusiawian yang tiba-tiba tumbuh di relung kosong di dalam hatinya. Relung hati yang seharusnya terisi dengan kasih dan cinta oleh mujahid yang sebenarnya sudah lama ia nanti. Sepertinya ia harus lebih bersabar lagi, entah sampai kapan.
===========================================
Hari jum’at ini begitu spesial bagi Alia, hari ini adalah hari untuk menyambut sang mujahid. Matanya berbinar, bahagia menyelimuti hatinya. Alia, di depan kaca, memandang dirinya yang sedang merasakan kebahagiaan itu. Seakan ia merasa dialah wanita paling bahagia di dunia. Senyum tak lekangnya tergurat. Senyum manisnya sungguh mempesona.
Di kediaman Alia, keluarga telah bekumpul dan besiap-siap menyambut calon besan, keluarga Kyai Miftah ‘Ali. Sejumlah persiapan, makanan serta kebersihan rumah telah siap. Dan ternyata kebahagiaan tak hanya dirasakan oleh si empunya ‘pinangan’ tetapi juga ibunya. Sambil terus membungkus beberapa masakan khas Jogja yang akan disuguhkan, senyum pun tak lupa disimpulkan. Sungguh saat yang membahagiakan.
“
Ndok,
Alhamdulillah ya,” ucapan itu terlontar saat alia menghampiri ibunya yang sedang sibuk membungkus
nogosari, jajanan tradisional berisi pisang,”Setelah semua yang kamu lewati, Allah menyiapkan kejutan yang ibu dan mungkin kamu sendiri
gak nyangka. Alhamdulillah, Allah itu Maha Rahman, Maha Rahim. Terus bersyukur agar nikamat terus ditambahkan untukmu ya
Ndok.” Senyum teduh dari seorang ibu dari anak yang sholehah, Alia. Senyum itu semakin menguatkan hati Alia untuk melangkah mengarungi bahtera rumah tangga yang diharapkan sebentar lagi Alia jalani. Alia benar-benar berharap itu.
Tepat pukul 14.00, rombongan keluarga Kyai Miftah ‘Ali tiba di kediaman Alia. Bu nyai juga ikut serta dan keluarga yang lain, serta tentunya aktor dalam acara tersebut, Ustadz Ilyas. Di kediaman Alia yang sederhana juga telah besiap kedua orang tua Alia, kerabat-kerabat serta tetangga, dan Nina juga telah sampai pukul 13.30 tadi. Semua memasang wajah bahagia dan memang saat itu adalah hari yang membahagiakan.
Semua orang telah duduk, melingkar di ruang tamu yang luas, rumah khas jawa yaitu Joglo yang memang luas di bagian ruang tamunya. Begitupun Alia yang duduk berdampingan dengan Nina telah siap dengan semua persiapan fisik maupun hati. Dan Sang Mujahid, Ustadz Ilyas, yang duduk di samping Kyai Miftah.
“
Assalamu’alaykum warahmatullahi wabarakatuh,” Kyai Miftah membuka majelis,”Kedatangan kami sekeluarga ke kediaman Bapak Achmad Jazuli dengan maksud ibadah karena Allah. Pertama dengan maksud silatutahmi dan kedua ada misi yang lebih penting yaitu meminangkan anak bapak, Zaskia Alia Nur Rahma untuk putra saya, Achmad Ilyas Nur.” Kyai miftah terdiam sejenak, terlihat semua pandangan tertuju kepada Kyai Miftah, menunggu apa yang akan dikatakan selanjutnya. “Untuk lebih baiknya,” lanjut Kyai Miftah,”Majelis saya berikan kepada putra saya, Achmad Ilyas Nur.” Terlihat Kyai Miftah mempersilakan anaknya sambil berbisik sesuatu, entah apa itu.
“Baik,” Ustadz Ilyas memulai pembicaraannya dalam majelis itu, serasa
deg-degan dan gugup tetapi ia berhasil menetralisasinya,”Melanjuti pembicaraan dari abah, saya bermaksud untuk meminang Zaskia Alia Nur Rahma untuk menjadi istri saya.” Ustadz Ilyas memandang sejenak kepada wanita berjilbab biru yang sedang tertunduk menunggu gilirannya bicara. Pandangan itu segera Ustadz Ilyas buang dan alihkan kepada yang lain. “Dan,” lanjut Ustadz Ilyas,”Apa Alia menerima pinangan saya?” Wajah harap cemas membingkai wajah Ustadz Ilyas, harap-harap akan satu jawaban “ya”.
Semua terdiam, sekarang adalah giliran Alia angkat bicara. Semua mata tertuju kepada Alia, pandangan penuh harap dengan jawaban Alia. Kecuali Ustadz Ilyas yang tertunduk menunggu seuntai jawaban yang akan menentukan maksud kedatangannya ke kediaman Pak Achmad Jazuli. Semua menunggu.
“Dengan mengucap
bismillahirrahmaanirrahiim,” suara Alia gemetar seakan akan menangis, digenggam tangan Nina yang sejak tadi terus menguatkan Alia,”Pinangan Ustadz Ilyas saya terima.” Setitik linangan jatuh di jilbab birunya, Alia terharu saat itu, benar-benar terharu. Haru dalam bahagia.
“
Alhamdulillah,” serentak semua yang hadir bertahmid, wajah penuh kelegaan mendengar jawaban dari Alia, termasuk Ustadz Ilyas yang sedari tadi menundukkan wajah seraya mengusap wajahnya sebagai tanda syukur. Semua tersenyum, tak terkecuali. Hari ini adalah hari yang menyejarah, khususnya Ustadz Ilyas dan Alia. Awal untuk proses yang lebih lanjut, akad nikah.
“Selanjutnya,” Ustadz Ilyas melanjutkan dialognya, sekarang dengan intonasi yang lebih mantap.”Alia berhak menentukan mahar serta jika ada yang dipersyaratkan untuk saya sebagai syarat sahnya akad nikah nanti. Alia berhak untuk itu semua. Silakan.” Ustadz Ilyas menunggu dan beberapa yang hadir termasuk Ayah Alia menganggukkan kepala tanda setuju dengan pernyataan Ustadz Ilyas.
“Cukup islammu sebagai maharmu, karena tak ada yang lebih berharga dari itu, dan syarat yang ana ajukan adalah berikan posisi cinta kita tak melebihi cinta untuk Rabb kita,” setitik kilau mengalir dari mata Alia,”Cukup itu saja ustadz.”
“
Alhamdulillah,” lirih dalam hati Ustadz Ilyas dengan jawaban Alia. Semuanya sudah mantap saat ini dan Ustadz Ilyas telah siap untuk menuju ke akad nikah. “Dan jika itu syarat dari Alia,” lanjutnya,”Akan saya penuhi.” Jawaban mantap itu meneguhkan Alia dan semuanya.
Semua undangan lega serta puas dengan jawaban dari keduanya. Ini artinya semua telah jelas dan tinggal melenggang ke tahap selanjutnya, akad nikah.
“Syukur
alhamdulillah,” Pak Achmad Jazuli ganti mengambil alih kendali majelis,”Kalau keduanya telah cocok dan tak ada keberatan dari hadirin semua. Saya ingin akad nikah dilaksanakan dua minggu lagi di Masjid Jami’ Al Muttaqin.” Semua yang hadir mengangguk tanda setuju dengan permintaan ayah Alia.
“Baik,” Kyai Miftah kembali melanjutkan pembicaraan dalam majelis setelah sempat terpotong dengan prosesi pengambilan keputusan tadi. “Semua sudah setuju dan kami sekeluarga juga setuju dengan akad nikah dua minggu lagi.
Alhamdulillah…” Kyai Miftah menutup majelis itu dengan membacakan doa dan diaamiini oleh semua yang hadir. Semua orang khidmad, begitupun Si Jilbab biru yang begitu dalam mengaamiini doa dari Kyai Miftah.
Wajah cerah terpancar dari semua yang hadir. Keputusan telah diperoleh, semua lega dengan hasilnya. Membahagiakan. Kedua calon mempelai merasakan hal yang mungkin lebih bahagia dibanding dengan yang lain. Sebentar lagi mereka berdua, Ustadz Ilyas dan Alia akan disahkan secara syari’at, melalui akad nikah. Terlihat Alia menunduk kusyuk dan kemudian memeluk saudarinya, Nina.
“
Alhamdulillah ukhty,” bisik Nina lembut,”Sebentar lagi jadi pengantin.” Jelas Nina menahan air mata bahagia yang sedari tadi ingin keluar. Bahagia dengan apa yang Alia alami saat ini. Sebenarnya ada rasa ingin seperti Alia, merasakan pinangan dari seseorang. Namun, rasa itu terkalahkan dengan kebahagiaan ini. Nina harus sabar untuk indah itu.
Jum’at itu, adalah hari yang membahagiakan bagi Alia khususnya. Ia terharu dalam khusyuknya, ia merasakan indahnya menjaga akhlaq dan keimanan. Hal yang selama ini ia pertahankan dengan tidak mudah dan penuh perjuangan. Sekarang akan ia petik buah kesabarannya.
Insya Allah…
===========================================
Sepulang dari rumah Alia, Nina tidak langsung ke rumah, ia ke kantornya terlebih dahulu. Pukul menunjukkan 15.00, setelah sholat asar ia akan segera ke kantor untuk mengambil beberapa berkas yang tertinggal. Untungnya kantor tempat Nina bekerja tidak jauh, jadi bisa berkendara bolak balik.
Tiba-tiba
handphone Nina bergetar, tanda adanya pesan masuk. Di buka dan terlihat sebuah pesan dari Alia, calon pengantin baru. “Ada apa ya?” tanya dalam hati. Dan dibuka pesan itu.
“Assalamu’alaykum wr wb. Ukhty, terima kasih sudah datang dan menemani ana tadi. Alhamdulillah dengan ada anti tadi, ana jadi lebih pede, syukran ya…^_^. Oiya, ada sesuatu yang ingin ana ceritakan sama anti, tentang Akh ‘Ali, ‘Ali Mustafa teman kita waktu kuliah di UGM. Insya Allah nanti ana ceritakan sama anti. Sampai di sini ya ukhty sayang…. Wassalamu’alaykum wr wb.”
“’Ali Mustafa?” tanya timbul dalam hati Nina. Ah, ingatan masa-masa kuliah kembali terbit, hatinya jadi sedikit syahdu saat ini. “Ada apa?” hatinya sedikit berontak, tapi tak apalah, hatinya tengah senang saat ini dan tak terasa pipinya merona, seakan rindu akan si dia menbuncah kembali. Dia, yang pernah memberikan mushaf kesayangannya.